Kamis, 21 April 2011

perkembangan bunyi dalam fonologi

A. Pendahuluan
Bahasa sebagai alat interaksi, komunikasi, dan bekerjasama dalam kehidupan. Dengan bahasa semua kebutuhan dapat tercapai, karena adanya konsep kerjasama dalam sebuah komunikasi, oleh karena itu bahasa adalah yang utama di dalam kehidupan sosial.
Masyarakat sebagai pelaku bahasa mempunyai hukum yang sangat dijunjung tinggi di dalam komunitasnya, oleh karena itu perbedaan lingkungan dan penuturnya yang bermacam-macam karakteristiknya sangat mempengaruhi perbedaan dan perkembangan bunyi, karena lingkungan dan letak geografis adalah salah satu factor terhadap perkembangan bunyi dan bahasa yang digunakan.
Para ahli bahasa sepakat bahwa fase kemampuan berbahasa agak terlambat jika dibandingkan dengan fase-fase pertumbuhannya seacara keseluruhan. Manusia primitive di periode-periode zaman batu (the stone ages) berusaha untuk mengolah verbal, pertama-tama mereka mendengar reaksi dan bunyi yang ada di alam sekitar, akan tetapi karena keterbatasan mereka dalam menirukannya maka kemampuan menirukan suara-suara alam sekitar itu hadir menyusul pada fase berikutnya. (Kholisin dan Yusuf, 2005:101)
Kemampuan verbal ini hanya terbatas pada pengungkapan hajat hidup yang primer, seperti ekspresi birahi, upaya melawan musuh, dan usaha untuk mempertahankan kelestarian hidup. Mereka berusaha untuk mengungkapkan sesuatu dengan bunyi bahasa dengan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya sehingga kebutuhan hidup primer mereka dapat terpenuhi.
Dalam makalah ini akan dibahas dengan singkat perkembangan bunyi bahasa dan sedikit pembahasan tentang lahjah, karena lahjah mempunyai hubungan erat dengan bunyi. Di dalamnya juga akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan bunyi antara satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga semua pembahasan di dalamnya akan mencakup semua bahasan tentang perkembangan bunyi.

B. Lahjah (Gaya Bahasa)
Hilal (1998:21) dalam bukunya) اللهجات العربيّة نشأة و تطوّرا (menjelaskan bahwa bahasa digunakan untuk berinteraksi antar individu maupun kelompok sehingga mereka dapat mengutarakan keinginannya dengan lantaran bahasa. Fandris (dalam Hilal, 1998) juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup tanpa interaksi dengan lainnya, hal ini merupakan sifat alami yang dimiliki oleh manusia.
Lahjah adalah bahasa manusia, yang mana manusia tersebut terbentuk darinya atau berkembang dengannya. Maksud dari pengertian tersebut adalah cara berbahasa (pengucapan bunyi) pada suatu daerah atau wilayah tertentu. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Lahjah adalah kebiasaan suatu komunitas dalam berbicara dengan menggunakan satu gaya (Hilal 1998:27)
Lahjah terbentuk dari dua wajah/cara:
1. Lahjah terbentuk dari kata لهج الفصيل أمّه yang artinya anak kecil sedang menetek ibunya
2. Lahjah terbentuk dari kata لهوج /ألهج yang artinya kesenangan atau ketetapan atau keteguhan.
Perbedaan ucap (bunyi) dalam berbahasa suatu komunitas tertentu merupakan sebuah hal yang maklum dikarenakan banyaknya lingkungan dan masyarakatnya dengan karakter yang berbeda-beda. Berikut adalah beberapa contoh perbedaan Lahjah pada beberapa komunitas:
1. Perbedaan ucap kata الجيم , orang arab mengucapkannya di tengah-tengah lidah sedangkan orang mesir mengucapkannya di langit-langit mulut.
2. Perbedaan ucap kata الليلة komunitas fushha mengucapkan dengan /al-lailah/ sedangkan komunitas ‘a:miyah mengucapkannya dengan /ile:lat/
3. Perbedaan hukum ibdal pada fiil berwazan افتعل, kebanyakan orang arab menggantikan huruf wawu pada fiil اووصل dengan ta’ اتّصل tapi orang hijaz mengucapkannya dengan mengganti wawu dengan ya’ maka ايتصل.

C. Perkembangan Bunyi Bahasa
Perbedaan antara lingkungan dan masyarakat satu dengan lainnya dalam penyusunan suara atau bunyi hingga menjadi bahasa menuntut perubahan-perubahan bunyi itu sendiri, karena lingkungan dan masyarakat merupakan sebuah pengaruh besar dalam perubahan bunyi. Nawwah (dalam Hilal 1998) menuturkan bahwa secara alami lingkungan dan masyarakatnya sangat berpengaruh dalam pembentukan bunyi, tapi bukan berarti perbedaan ini antara satu bahasa dengan bahasa yang lain akan tetapi hanya dalam hal pelafalan atau bunyi saja sehingga hal ini membuat bunyi berkembang dan mempunyai bentuk-bentuk baru.
Para pakar bahasa sepakat bahwa bahasa adalah ka:inun hay ‘fenomena yang dinamis’ yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini karena bahasa pada hakekatnya hanyalah sebuah kebiasaan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang sama akan tetapi perbedaan lingkungan dengan masyarakatnya yang bermacam-macam karakter sehingga bunyi yang dihasilkan berbeda-beda
Menurut Fandris (dalam Hilal 1998) setiap bahasa memiliki hubungan yang erat dalam suara (pengucapan) antara satu huruf dengan huruf yang lain sehingga hubungan ini sebagai aturan dalam berbahasa karena bahasa tidak terbentuk dari sesuatu yang lain akan tetapi dari sesuatu yang sudah menjadi aturan. Umar (1985:317) menuturkan bahwa para pakar bahasa juga sepakat apabila perbedaan bunyi dan bahasa ini sebagai aturan yang ada di dalam ilmu fonologi.
Berikut akan dipaparkan beberapa pendapat sebagian pakar linguistic seputar factor yang mempengaruhi penggunananya dan perkembangannya. Anis 1979 (dalam Kholisin dan Yusuf 2005) menyebutkan 5 faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1. Perbedaan Alat Ucap
Sebagaian ahli berpendapat bahwa perkembangan bunyi bahasa disebabkan oleh adanya perkembangan bentuk anatomi organ wicara. Akan tetapi berdasarkan teori anatomi, pendapat ini tidaklah kuat. Sebab pada kenyataannya organ wicara pada setiap orang itu tidak ada bedanya. Sebagai contoh seorang penyanyi yang suaranya merdu secara struktur organ wicara memiliki paru-paru, kerongkongan, lidah, dan rongga mulut yang tidak berbeda dengan orang lain. Perbedaan antara mereka hanyalah pada kemampuan mengatur dan mengolah suara saja. Bukti lain yang melemahkan teori ini adalah bahwa seorang guru fonetik mampu mengajar anak didiknya untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa tertentu tanpa mengubah organ wicaranya.
2. Lingkungan Geografis
Faktor lingkungan geografis mempunyai pengaruh yang cukup besar pada perkembagan bunyi bahasa hal ini dikatakan oleh H. Cillitz. Orang yang hidup di lingkungan yang keras, padat penduduk, gersang dan tandus akan mempunyai ciri bunyi-bunyi bahasa yang keras. Collitz pun mengatakan bahwa bahasa-bahasa yang berkembang didaerah dataran tinggi cenderung mempunyai bunyi-bunyi yang kasar. Akan tetapi toeri Collitz ini dibantah oleh Jespersen, karena menurut fakta ada bahasa-bahasa tertentu yang berasal dari daerah dataran tetapi juga memiliki sifat yang kasar dan keras.
3. Teori Psikologis
Pendapat ini menyatakan bahwa perkembangan bunyi bahasa dipengaruhi oleh kondisi psikologis suatu bangsa atau komunitas. Bangsa yang cenderung menyukai ketenangan dan ketentraman memiliki bunyi bahasa yang halus sementara bangsa yang cenderung ingin menguasai dan keras cenderung mempunyai bunyi bahasa yang keras. Sebagai contoh didaerah jawa yang mempunyai ciri khas tersendiri dan selalu menyukai ketenangan mereka mempunyai bahasa jawa yang halus atau biasa kita sebut dengan bahasa krama.
4. Teori Kemudahan
Menurut Gurtius Whitney, perkembangan bunyi bahasa dipengaruhi oleh kecenderungan manusia untuk melakukan segala sesuatu, termasuk dalam mengucapkan bunyi bahasa. Ketika berbicara dengan orang lain seseorang akan selalu mencari cara pengujaran yang paling mudah. Pedukung teori ini mengemukakan bahwa perkembagan bunyi bahasa terjadi sevara spontan, tanpa disadari. Ketika seseorang mengucapkan bunyi bahasa tertantu dengan memperingan, ia tidak merasa bahwa ia telah melakukan pengubahan [pada bunyi bahasa yang diucapkan. Jadi proses tersebut terjadi secara spontan. Sebagai contoh perbedaan terdapat pada bunyi-bunyi berat atau shaut majhur dan bunyi-bunyi ringan atau shaut mahmus.
5. Teori Intensitas Kemunculan
W. Thomsen dan beberapa ahli lainnya mengemukakan bahwa bunyi dan bentuk-bentuk lain (kata, frase) yang mempunyai frekuensi pemakaian tinggi mempunyai kemungkinan berkembang dan berubah lebih besar daripada fonem dan bentuk lain yang jarang muncul.
Perkembangan bahasa dari aspek bunyi lebih banyak terjadi dan lebih bervariasi daripada perkembangan aspek-aspek lainya seperti struktur sintaksis dan leksikal, karena aspek bunyi banyak berkaitan dengan bahasa lisan, dan bahasa lisan mempunyai dinamika yang lebih tinggi daripada bahasa tulis. Oleh karena itu, Umar (1985: 319-324) menyebutkan enam faktor yang secara umum berpengaruh pada perkembangan bunyi bahasa, yaitu:
1. Hukum Grammont yang terkenal dengan sebutan law of the stronger
Menurut Maurice Grammont, jika terjadi proses saling pengaruh antara dua bunyi, maka bunyi yang lemah dipengaruhi oleh bunyi yang kuat. M. Naja 1972 (dalam Kholisin dan Yusuf, 2005) memberikan kriteria antara lain:
• Bunyi bersuara lebih kuat daripada bunyi takbersuara
Contoh: Lafadzيلهث ذلك , dzal’ bersuara, tsa’ tarusaha.
• Bunyi oklusif lebih kuat dari bunyi frikatif
• Bunyi koronal lebih kuat dari non-koronal
• Bunyi emfatik lebih kuat daribunyi non-emfatik
Contoh: إذ ظلّ, dho’ emfatik, dzal non-emfatik.
• Bunyi obsturen lebih kuat dari bunyi sonoran.
Selain lima kriteria di atas, Syahin 1982 (dalam Kholisin dan Yusuf, 2005) memberikan kriteria lain, yaitu:
• Bunyi konsonan yang diikuti vokal yang tidak dapat dibuang karena berupa vokal panjang, atau telah dibuang, sehingga tidak mungkin adanya pembuangan lagi berkedudukan lebih kuat daripada konsonan sebelumnya. Misalnya: من بعد ذلك
2. Prinsip Efisiensi Tenaga (The Low Of Least Effort)
Dalam bahasa lisan, setiap pembicara cenderung memilih cara yang paling efisien, dalam arti mencari yang lebih mudah dengan hasil maksimal. Dengan prinsip ini seorang pembicara akan mengganti fonem-fonem yang dirasa berat untuk diucapkan dengan fonem yang lebih mudah selama hal itu memudahkan dan tidak merubah makna. Misalnya, ketika mengucapkan dua fonem /t/ yang berurutan seperti pada kalimat: جلست تقرأ القرآن
3. Prinsip Frekuensi Kemunculan (Frequency Of Occurrence)
Dalam prinsip ini kemungkinan berkembang dan berubahnya bunyi bahasa sangat dipengaruhi oleh frekuensi pemakaiannya. W. Thomsen (dalam Kholisin dan Yusuf 1996) dan beberapa ahli lainnya mengemukakan bahwa bunyi (fonem) dan bentuk-bentuk lain yang mempunyai frekuensi pemakaian tinggi akan lebih besar kemungkinan berkembang dan berubahnya daripada fonem dan bentuk lain yang jarang muncul. Para ahli bahasa terdahulu ternyata telah menjadikan hal ini sebagai pertimbangan mereka dalam berbahasa, sekalipun mereka belum dapat menjadikan prinsip ini sebagai teori dalam kajian-kajian kebahasaan.
4. Faktor kecepatan
Kecepatan juga merupakan salah satu faktor dalam kemungkinan berkembangnya bunyi bahasa. Contoh yang biasa digunakan yaitu ketika dalam perdebatan. (Kompetisi Debat Brawijaya 2009) mengemukakan bahwa pada sesi kedua dalam sebuah perlombaan debat, terdapat sesi debat atraktif, format atraktif yaitu debat langsung antara tim pro dan kontra saling sahut menyahut. Sesi ini jelas menuntut para peserta debat untuk cenderung berbicara dengan kecepatan yang tidak memberikan ruang kepada lawan bicaranya untuk menyela sebelum penjelasannya selesai.
5. Prinsip keseimbangan
Dalam hal ini perkembangan bunyi bahasa sangat dipengaruhi oleh dialek dari setiap komunitas bahasa. Martinet (dalam kholisin dan yusuf 1996) mengemukakan bahwa perkembangan kebahasaan tidak terjadi karena kebetulan atau karena fenomena yang tidak saling terkait. Perkembangan itu ternyata tunduk pada aturan atau konvensi tertentu. Salah satu bukti dari pernyataan itu, dialek Cairo yang mengucapkan /ج/ dengan [g] tidak mengucapkan /ق/ dengan [g] tetapi dengan [?], seperti جدال/jidal/ [gidal] ‘debat’ dan قلم/qolam/ [?lam] ‘pena’. Sebaliknya, dialek Yaman yang mengucapkan /ج/ dengan [y], bukan [g], mengucapkan /ق/ dengan [g], seperti jamal [yamal], qolam [golam].
6. Faktor Ekstralinguistik
Selain dipengaruhi oleh faktor linguistis, Perkembangan bunyi bahasa juga dipengaruhi oleh faktor ekstralinguistik. Maksudnya, perkembangan bunyi bahasa juga dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya, jika suatu komunitas berpindah ke suatu daerah tertentu yang menggunakan dialek lain, atau bahkan bahasa lain cenderung akan mempertahankan bahasa komunitas tersebut untuk menunjukkan identitas atau untuk solidaritas antar anggota komunitas. Disisi lain, ia berusaha mempelajari dan menggunakan bahasa daerah tempat ia tinggal. Ketika menggunakan bahasa baru tersebut ia banyak dipengaruhi oleh bahasa pertama, dan di situlah terjadi proses asimilasi.

Daftar Rujukan
Hilal, Abdul Ghafar Hamid. 1998. اللهجات العربيّة نشأة و تطوّرا
Kholisin & Hanafi Yusuf. 2005. Buku Ajar Fonologi Bahasa Arab. Malang: PSPBA FS UM.
Umar, Achmad Mukhtar. 1985. دراسات الصوت اللغويّ . Kairo: ‘A:lamu Al-kutub Kairo.